Doorstop Settingan
Kisah ini mengingatkan pada praktik doorstop palsu yang sempat ramai di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Waktu itu, istana pernah merilis video yang seolah-olah menunjukkan presiden sedang di-doorstop wartawan. Padahal, yang bertanya diduga hanya staf biro pers, bukan jurnalis independen. Tidak ada mikrofon media, tidak terdengar suara wartawan berebut pertanyaan, hanya tayangan “rapi” yang dikemas sebagai keterangan pers.
Publik pun menilai, itu bukan doorstop, melainkan pernyataan sepihak yang dikemas seolah-olah interaktif. Bahkan ketika Jokowi ditanya langsung soal tudingan “settingan”, ia hanya tersenyum, mengangkat tangan, dan pergi- tanpa memberi ruang tanya jawab. Praktik semacam ini pada dasarnya mengebiri fungsi doorstop sebagai sarana spontanitas dan kontrol publik. Doorstop adalah salah satu wajah paling otentik dari jurnalisme. Spontan, tanpa naskah, tanpa sensor.
Publik bisa melihat langsung bagaimana pejabat merespons isu aktual. Kadang jawabannya terbata-bata, kadang singkat, tapi justru di situlah letak kejujuran. Jika doorstop dibatasi, yang hilang bukan hanya hak wartawan, tapi juga hak publik. Ketika ada kebijakan kontroversial atau bencana yang menelan korban, lalu media tidak bisa bertanya, maka masyarakat mencari informasi sendiri dari pelbagai saluran, termasuk media sosial.
Doorstop adalah ruang penting bagi publik untuk mendapat informasi cepat, jujur, dan transparan. Namun praktik “seolah-olah doorstop” justru menyesatkan yang memberi kesan keterbukaan, padahal yang terjadi hanyalah komunikasi satu arah. Bagi pers, membedakan keduanya sangat penting, agar publik paham kapan pejabat benar-benar terbuka, dan kapan sekadar memberi pernyataan sepihak. Ancaman Pidana Undang undang Pers No. 40 Tahun 1999, Pasal 4 ayat (2) dan (3), menjamin hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi. Arrtinya, jika wartawan dihalangi saat mencari informasi via doorstop, maka Pasal 18 ayat (1) UU Pers berlaku, bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.” Dengan kata lain, pembatasan doorstop bukan hanya merugikan jurnalis dan publik, tapi juga bisa berimplikasi pidana.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait
