Yang lebih memprihatinkan, di luar SPBU justru beredar solar eceran dengan harga fantastis. Yohanis menengarai ada permainan pihak tertentu yang memperburuk situasi. “Di SPBU solar habis, tapi pengecer jual Rp65 ribu sampai Rp70 ribu per jeriken, isinya bahkan tidak sampai lima liter. Ini sudah tidak benar, dan tidak memanusiakan manusia,” ujarnya.
Antrean panjang truk lintas kabupaten yang bermalam di SPBU membuat petani benar-benar kehilangan akses. Mereka membutuhkan solar bukan dalam jumlah besar, melainkan dalam batas minimal untuk menjalankan alat mesin pertanian (alsintan) yang sangat krusial di awal musim tanam.
Suasana seperti ini sering terjadi di SPBU Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur, NTT terutama di musim penghujan atau musim tanam-Foto: istimewa
Di tengah situasi genting ini, para petani mendesak pemerintah daerah bersama DPRD mengambil langkah cepat. Mereka meminta pengawasan ketat distribusi solar, prioritas untuk petani, serta penindakan jika benar terdapat mafia BBM.
“Kami tidak minta banyak. Cukup solar tersedia sesuai kebutuhan petani. Jangan sampai lumbung pangan Sumba Timur justru mati sebelum musim tanam dimulai,” pungkas Yohanis disambut aplaus sejumlah perwakilan petani lainnya yang hadir kala itu.
Dalam kesempatan itu, turut pula hadir Elvis Karwelo, pengusaha dan petani asal Lewa yang juga merupakan Ketua Kadin Sumba Timur. Dalam kesempatan itu, pihaknya juga menyampaikan analisa kebutuhan solar di musim tanam untuk wilayah Lewa Raya yakni rata-rata 35 liter solar untuk satu hektar lahan.
"Kekurangan alokasi solar untuk petani Lewa Raya dalam rangka persiapan lahan mencapai 381.650 liter jika secara total kebutuhan solar Lewa Raya untuk kegiatan persiapan lahan sebesar 485.650 liter," urai Elvis.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait
