Fenomena hutang budaya itu tak lepas dari besarnya biaya yang dibutuhkan dalam ritual adat. Marthen membeberkan, untuk satu upacara kematian, keluarga bisa menghabiskan Rp300 juta hingga Rp700 juta. Sedangkan pesta budaya membutuhkan Rp200 juta hingga Rp500 juta.
Tak berhenti di situ, untuk perkawinan adat, angka pengeluaran bisa menembus Rp750 juta. “Angka ini sangat tinggi. Akhirnya masyarakat terjebak pada lingkaran hutang yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” katanya.
Ia pun mempertanyakan kembali esensi dari adat itu sendiri. “Berapa sebenarnya aturan adat tentang jumlah hewan yang dikorbankan? Mengapa kini menjadi ajang gengsi yang membebani rakyat kecil?” ungkap Marthen dengan nada lirih.
Menurutnya, adat tidak pernah bermaksud merusak, melainkan mengatur kehidupan. Namun dalam praktik yang terdistorsi, adat justru menjerumuskan warga pada lilitan hutang.
“Kalau kondisi ini dibiarkan, bukan hanya desa kita yang terancam, tetapi juga masa depan Pulau Sumba,” tegasnya memungkasi.
.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait