Bagi Petrus, GWA KH-Destro harus dipandang sebagai ‘tipu muslihat, organisasi ilegal yang dilekatkan pada lembaga resmi Polres Nagekeo, mengatasnamakan pembinaan wartawa, yang melembaga pada institusi Polri di Nagekeo. Hal itu karena tidak adanya mandat dari Pimpinan Polri kepada Yudha Pranata untuk membentuk organ lain di luar organ resmi Polri. Apalagi kata Petrus, untuk membina profesi wartawan tidak ada mandat dari Organisasi Profesi Wartawan pada Yudha Pranata.
“Ini bentuk tindakan melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang atau telah bertindak sewenang-wenang,” tohoknya.
Masih urai Petrus, Yudha Pranata seharusnya paham bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam sebuah Peraturan Kepala Kepolisian Negara, secara tegas melarang setiap pejabat Polri menggunakan sarana media sosial dan media lainnya untuk aktivitas berupa menyebarluaskan berita tidak benar, mengunggah, memposting ujaran kebencian, radikalisme, dan konten lain yang eksklusif. Yudha Pranata, juga kata Petrus berhasil merekrut beberapa wartawan dengan karakter yang menyerupai karakter ‘destroyer’ guna memenuhi kebutuhan organisasi GWA KH-Destroyer itu sendiri.
“Buktinya di lapangan Yudha Pranata dan anggotanya sama-sama menggunakan narasi yang vulgar yang bermuatan intimidasi, permufakatan jahat dan teror dengan daya rusak pada mental pihak yang diteror. Selaku Admin, Yudha Pranata nampak menikmati narasi yang bermuatan kekerasan, merangsang anggotanya dengan perintah agar membuat si wartawan yang jadi target operasinya stress dan serta merta muncul narasi ancaman kekerasan, seperti patahkan rahang, buang di sampah. Inikah metode dan hasil pembinaan wartawan versi Yudha Pranata?” papar Petrus.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu