Ini Rangkuman Polemik di RSUD URM Waingapu yang Diungkap dalam RDP dengan DPRD Sumba Timur
![header img](https://img.inews.co.id/media/600/files/networks/2025/02/11/c502f_rdp-rsud-dan-dprd-sumba-timur.jpeg)
SUMBA TIMUR, iNewsSumba.id - Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi C DPRD Kabupaten Sumba Timur dengan pihak RSUD Umbu Rara Meha (RSUD URM)yang berlangsung pada Jumat (7/2/2025) lalu, mengungkap berbagai permasalahan serius dalam sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Rapat yang dihadiri oleh pimpinan DPRD, Komisi C dan B, serta pihak manajemen RSUD ini mengungkap ketidakberesan dalam manajemen, kekurangan tenaga medis, serta kebijakan yang dinilai merugikan pelayanan kepada masyarakat.
Rangkuman permasalahan itu berhasil diperoleh iNews.id dari DPRD Sumba Timur yang mana dokumen itu menerangkan bahwa dalam rapat tersebut, dr. Desyderia Moekoe, SpPD, mengungkapkan bahwa RSUD URM seharusnya memiliki minimal dua dokter spesialis penyakit dalam, sesuai dengan standar rumah sakit tipe C. Namun, sejak enam bulan terakhir, dirinya harus menangani seluruh pasien sendirian karena satu dokter spesialis jantung yang seharusnya membantu telah lama absen akibat sakit. Mirisnya, kontrak dokter spesialis jantung tersebut tetap diperpanjang dan dibayar oleh pihak manajemen dengan alasan kemanusiaan, meskipun tidak menjalankan tugasnya.
Desyderia juga mengungkapkan bahwa dirinya telah berupaya mencari dokter spesialis penyakit dalam tambahan, yakni dr. Andrew, yang bersedia bekerja di RSUD URM. Namun, meski telah bekerja sejak 15 November 2024, kehadiran dr. Andrew dipermasalahkan oleh Kepala Tata Usaha (KTU) rumah sakit. Manajemen akhirnya mengeluarkan SK bagi dr. Andrew hanya untuk satu bulan, dari 25 November hingga 25 Desember 2024, dengan alasan prosedural. Tahun 2025, kontraknya pun tidak diperpanjang, meskipun kebutuhan akan dokter spesialis penyakit dalam sangat mendesak.
Kekurangan tenaga medis juga menjadi sorotan dalam rapat ini. Jumlah dokter umum di RSUD Umbu Rara Meha terus berkurang dari 21 orang pada 2021 menjadi hanya 7 orang saat ini, jauh dari kebutuhan minimal 14 dokter umum. Ironisnya, manajemen RSUD justru mempertahankan dokter yang didanai oleh Pemerintah Daerah Rote Ndao, sementara dokter yang dibiayai oleh Pemda Sumba Timur tidak diterima bekerja di rumah sakit tersebut.
Selain itu, ketimpangan dalam kebijakan cuti dan tunjangan tenaga medis juga menjadi keluhan utama. Beberapa tenaga medis mengeluhkan perlakuan tidak adil dalam pengaturan cuti, serta adanya ketimpangan dalam tunjangan dokter, yang jauh lebih rendah dibandingkan daerah lain.
Hal lainnya yang terungkap dalam RDP yang dinyatakan oleh beberapa kepala unit di RSUD URM terkait permasalahan fasilitas yang tidak memadai. Kepala Unit Sarana dan Prasarana menyampaikan bahwa mesin produksi oksigen rumah sakit mengalami kerusakan, sehingga produksi oksigen berkurang drastis. Usulan anggaran untuk perbaikannya telah diajukan sejak 2023, tetapi hingga kini belum terealisasi.
Selain itu, alat medis seperti gunting bedah, termometer, dan alat tensi banyak yang rusak dan tidak segera diganti. Bahkan, alat operasi yang tidak tajam harus diasah secara manual menggunakan kertas pasir sebelum digunakan dalam tindakan medis. Kondisi ini semakin diperparah dengan minimnya persediaan obat-obatan esensial yang sering kali habis, memaksa pasien membeli sendiri di luar rumah sakit.
Akibat berbagai permasalahan tersebut, dr. Desy dan dr. Andrew akhirnya melakukan aksi mogok kerja untuk menuntut perhatian dan perbaikan sistem pelayanan kesehatan di RSUD URM. Mereka berharap aksi ini dapat mendorong perubahan signifikan demi kepentingan masyarakat Sumba Timur. Bahkan, dokter umum juga turut melakukan mogok kerja sebagai bentuk solidaritas terhadap kondisi yang tidak layak di rumah sakit tersebut.
Dalam RDP itu juga mengemuka desakan Komisi C DPRD Kabupaten Sumba Timur agar manajemen RSUD URM segera melakukan pembenahan dalam sistem administrasi, rekrutmen tenaga medis, serta pengadaan alat dan obat-obatan. DPRD juga menyoroti peran Kepala Tata Usaha RSUD yang dinilai terlalu dominan dalam pengambilan keputusan, melebihi wewenang Direktur rumah sakit. Keputusan dan kebijakan yang tidak berpihak pada tenaga medis dan masyarakat harus segera diperbaiki agar layanan kesehatan di RSUD URM dapat kembali optimal.
Dengan semakin besarnya tekanan dari tenaga medis, diharapkan Pemerintah Daerah Sumba Timur dan manajemen RSUD segera mengambil langkah konkret guna menyelamatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu