Menurutnya, tantangan terbesar dalam manajemen sepak bola nasional bukan hanya mencari pelatih hebat, melainkan menciptakan sistem yang berjenjang dan terhubung dari level usia muda hingga senior. Ia menyebut pada masa kepemimpinan Patrick Kluivert, sistem itu mulai terbentuk, meski terhenti karena kegagalan mencapai target.
“Waktu saya masuk PSSI itu kan jelas antara Shin Tae-yong dan Indra Sjafri enggak bisa komunikasi. Baru terakhir zamannya Patrick kita bisa bikin strata. Tapi itu pun karena gagal ya, gimana?” ungkap Erick.
Kini, PSSI dihadapkan pada kekosongan di tiga level: senior, U-20, dan U-23. Kondisi ini membuat Erick harus berhitung cermat dalam menentukan arah berikutnya.
“Sekarang kalau ditanya pusing enggak? Pusing. Karena hilang pelatih senior, U-20, dan U-23. Tapi kan ini memang paket buat itu,” jelasnya.
Lebih jauh, Erick menyoroti persoalan mendasar: lemahnya kualitas kepelatihan lokal. Ia menilai ekosistem pelatih Indonesia masih “tipis,” bahkan ketika mencari asisten untuk Shin Tae-yong pun sulit.
“Kepelatihan orang Indonesia tuh tipis. Waktu itu STY nyari asisten juga susah, Patrick Kluivert menginterview 10 pelatih juga enggak ketemu,” ucapnya.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait
