SUMBA TIMUR, iNewsSumba.id – Kabupaten Sumba Timur kaya akan potensi wisatanya. Alam yang khas dan unik dengan pesona pantainya, juga kekayaan adat dan budayanya. Kampung Adat dan budaya megalitikum juga menjadi keunikan tersendiri. Budaya megalit tidak hanya menjadi peninggalan namun tetap diupayakan untuk dilestarikan hingga kini di tengah terpaan modernisasi.
Salah satu pesona budaya megalit bisa ditemui di Kampung Adat Praiyawang, Kecamatan Rindi. Kampung yang juga dikenal dengan sebutan Rende itu berjarak sekira 70 kilometer arah timur kota Waingapu. Pengunjung dari Waingapu bisa mencapai kampung ini dalam durasi 1,5 hingga 2 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Di Kampung Adat Praiyawang, mata dan kamera akan dimanjakan dengan tampilan sejumlah rumah adat tradisional Sumba maupun semi tradisional. Masih ada rumah adat yang beratapkan ilalang dan berdinding kulit kerbau juga sapi. Selain itu, tengkorak dan tanduk kerbau menghiasi tangga ke ruang tengah rumah.
Dan yang pasti di Kampung Adat Praiyawang akan dengan mudah mengakrabi belasan deretan Kuburan Batu Megalit dengan kekhasannya masing-masing. Kubur Batu Megalit yang dibentuk dari batuan cadas jenis kars Sumba itu juga dihiasi aneka ukiran dan pahatan, yang tentu saja menghasilkan sebuah maha karya nan unik.
“Di Kampung ini ada belasan Kuburan Megalit. Yang paling tua itu dibuat pada akhir tahun 1800-an. Kalau rumah adat antara lain disebut Uma Penji, Uma Ndewa, Uma Bokul, Uma Andung, Uma Wara dan Uma Kopi juga Uma Jangga. Ada juga Uma Kudu atau Uma Maringu,” jelas Umbu Makambombu.
Masing-masing rumah adat itu, kata Umbu Makambombu punya fungsinya masing-masing terutama dimasa silam. Diantaranya kata dia, Uma Andung dulu digunakan sebagai tempat upacara sebelum dan sesudah perang dimana di depannya ada tiang kayu bercabang untuk menggantungkan kepala musuh. Juga Uma Ndewa untuk sembayang dan Uma Bokul untuk pertemuan serta Uma Wara untuk tempat menabuh gong dan tambur untuk alarm atau pemberitahuan.
Di antara belasan Kuburan Megalit itu, ada satu kuburan yang punya kisah kelam di baliknya. Kuburan itu, karena kisah kelamnya diberikan nama Watu Mbeni (Batu yang mengamuk).
Umbu Makambombu, tokoh adat Kampung Praiyawang, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur berlatar belakang Kuburan Watu Mbeni - Foto : iNewsSumba.id/Dion. Umbu Ana Lodu
“Kuburan Watu Mbeni ini masuk ke Kampung Praiyawang sekitar tahun 1940-an. Dipahat dan ditarik dengan tenaga manusia beberapa kilometer dari sini. Saat ditarik itu dan tiba di jalan menurun, ada kesalahan aba-aba atau miskomunikasi sehingga ditarik lebih cepat, dan lalu menggelinding tak terkendali lalu melindas puluhan orang. Sekitar 50 sampai 60 orang jadi korban meninggal dunia. Kacau balau saat itu situasinya. Karena prosesnya yang memakan banyak korban jiwa, jadi kuburan ini disebut Watu Mbeni atau kalau diterjemahkan jadi Batu yang Mengamuk atau marah, walaupun mana ada batu yang marah atau mengamuk? tapi itulah historinya,” papar Umbu Makambombu.
Dalam Kuburan Megalit Watu Mbeni sendiri, lanjut Umbu Makambombu telah berisikan empat jenazah. Dimana jenazah yang terakhir dimasukan ke dalam kuburan itu adalah mendiang Umbu Kanabu Ndaung yang dimakamkan pada 25 Mei 2023 lalu. Jenazahnya digabungkan dengan Kakek dan Nenek serta saudara lelakinya yang telah meninggal puluhan tahun silam.
Waktu berganti hari, haripun berganti minggu, lalu minggu berganti bulan dan selanjutnya tahun, kisah kelam dibalik Kuburan Watu Mbeni tak kunjung sirna dan dilupakan. Begitupun rumah khas di Kampung Adat Praiyawang dan deretan kuburan megalitnya tetap menarik untuk diakrabi karena pesonanya tak pupus ditelan masa dan juga terpaan roda globalisasi dan modernisasi.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait