“NTT ini sejatinya propinsi kepulauan yang mana tentunya sangat berisko menghadapi perubahan iklim dan bencana. Saat ini pulau-pulau kecil di wilayah lain di Indonesia terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut yang menyebabkan sebagian wilayah daratan semakin sempit. Ingat pada 5 April 2021 lalu, siklon tropis atau badai seroja telah mengakibatkan cuaca ekstrem berdampak bencana Hidrometoerologi yang mengguncang NTT. Akibat cuaca ekstrem tersebut, banjir bandang serta tanah longsor menerjang 21 kabupaten dan kota di wilayah NTT,” paparnya.
Sejumlah narasumber yang dihadirkan diantaranya Direktur Stimulant Institute, Stepanus Makambombu, GMNI dan Elfis Umbu Katongu Retang dari Unkriswina Sumba. Para peserta juga antusias mengikuti diskusi dan melontarkan pertanyaan dan gagasan kritis juga informasi.
Ben Lalupanda dari Selaras Sumba menginformasikan perihal kekeringan yang dulunya terkesan jauh dari warga Maulumbi dan Lambanapu seiring dengan hadirnya Bedung Kambaniru dan irigasi, kini justru harus diperhadapkan situasi yang serba sulit. Bendung sebutnya telah selesai dikerjakan namun saluran irigasi belum juga rampung, hal mana sebut dia mempengaruhi usaha warga terutama petani untuk mengusahakan sawahnya. Upaya untuk mengggali dan mengoptimlkan sumur yang ada juga sebutnya telah dilakukan namun justru sumber air itu berangsur kering.
Roy Umbu Mahambilir, dari unsur GMNI mengkritisi belum optimalnya penggunaan dan pengelolaan sampah oleh instansi terkait juga masyarakat. Masyarakat sebut dia semestinya diberikan edukasi optimal tentang pengolahan sampah sehingga nantinya tidak malah menjejali Tempat Penampungan Sementara (TPS) dan kemudian dibawa ke Tempat Penampungan Akhir (TPS) di Desa Laindeha.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu