Jaksa juga menilai rekaman itu membongkar pola kekuasaan yang dibangun Hasina selama bertahun-tahun. Mereka menyebut mantan PM itu menempatkan aparat keamanan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kasus ini, kontrol politik berubah menjadi mesin represi yang mematikan.
Pengadilan menyoroti istilah “tindakan tegas” dalam rekaman, yang disebut sebagai pemicu operasi brutal. Hakim menyatakan kata itu memuat makna operasional yang jelas bagi aparat: penggunaan kekuatan penuh tanpa batas.
Sementara itu, pengacara Hasina di Dhaka menyebut rekaman tersebut dipalsukan. Namun klaim itu dianggap tidak dapat dibuktikan di pengadilan setelah ahli forensik digital menyatakan rekaman asli dan tidak mengalami penyuntingan.
Vonis mati terhadap mantan PM Bangladesh ini pun mendapat sorotan tajam. Komunitas internasional mempersoalkan transparansi persidangan, sementara organisasi HAM meminta rekaman itu dibuka ke publik untuk memastikan akuntabilitas proses hukum.
Kini publik Bangladesh menunggu langkah berikutnya: apakah rekaman yang menjatuhkan seorang mantan pemimpin akan dijadikan preseden baru dalam mengadili pelanggaran HAM berat, atau justru membuka babak konflik politik yang lebih besar.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait
