WAIBAKUL, iNewsSumba.id — Di bawah langit biru yang bersih dan deru angin dari perbukitan, Kampung Adat Deri Kambajawa kembali menghidupkan napas leluhur lewat ritual sakral yang disebut Purung Ta Liang Marapu, sebuah perjalanan batin yang berarti “Turun ke Gua Marapu.”
Ritual yang hanya dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat Deri Kambajawa ini bukan sekadar upacara tahunan, melainkan bentuk penghormatan kepada roh-roh leluhur dan pengakuan manusia atas kesalahannya di hadapan alam semesta. Prosesi ini digelar melalui sembilan tahapan sakral, dimulai dari Pakabuangu pada 20 September hingga puncaknya Turun ke Liang Marapu pada 8 Oktober.
Di rumah adat Walu Nogul, suara musyawarah terdengar lirih dalam cahaya lampu minyak. Di sinilah segalanya bermula,tanda awal bagi Ratu Madidung, sang pemuka spiritual, untuk memohon izin kepada Sang Maha Tinggi agar ritual tahun ini dapat dijalankan tanpa gangguan. “Setiap tahapan punya makna tersendiri. Bukan hanya soal doa, tapi juga tentang bagaimana manusia menjaga keseimbangan dengan leluhur dan alam,” kata Sofrein Umbu S. Marisi, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Tengah ketika ditanya perihal tahapan dan makna ritual itu pada iNews di Sirkuit Mandalika, NTB, Sabtu (11/10/2025) siang lalu.
Dalam keheningan dini hari, sekitar pukul empat subuh, Ratu Madidung berjalan sendirian di bawah remang cahaya bulan untuk melaksanakan Tujak, yakni menyentuh bumi, langit, dan batu sebagai simbol permohonan restu leluhur. Semua dilakukan secara rahasia, sebab hanya mereka yang disucikan dapat mendekati ruang spiritual itu.
Tanggal 26 September, ritual Rahi Hunga digelar. Saat itu, Ratu Madidung menampakkan diri di depan para Ratu lain dan melantunkan syair-syair adat yang disebut hamayang atau doa panjang untuk memohon perlindungan dari Sang Maha Tiinggi. Dari situ, perjalanan menuju jantung spiritual Kampung Adat Deri Kambajawa terus berlanjut.
Pada 30 September, upacara Urat atau pengolesan tombak menjadi tanda waspada. Tombak yang licin menandakan keselamatan, sedangkan tombak yang tersendat dipercaya sebagai isyarat bahaya.
"Jika tanda buruk muncul, para Ratu segera mengibaskan daun kelapa sambil memanjatkan doa agar terhindar dari malapetaka," ujar Sofrein Umbu S. Marisi masih dari Sirkuit Mandalika, yang dkunjungi para pelaku usaha wisata Sumba itu berkat fasilitas akomodasi Wings Air yang kini telah layani penerbangan Sumba-Lombok PP dengan tarif ekonomis itu.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait