Larangan itu bukan sekadar aturan. Bagi warga Wundut, pelanggaran terhadap kesepakatan ini bisa berakibat fatal. “Orang yang melanggar bisa tertimpa musibah—tersambar petir atau dipatok ular. Itu bukan mitos. Sudah pernah terjadi,” tambah Khristian H. Wali.
Di balik ritual ini, tersembunyi filosofi kearifan lokal yang mendalam. Lunggi Randa kembali menekankan adanya keterkaitan antara semua elemen pendukung kehidupan warga dan kelestarian alam juga lingkungan.
“Semuanya saling terkait. Tidak bisa dijaga sendiri-sendiri. Harus dengan kebersamaan, antar kabihu (marga),” ujarnya.
Hutan Adat disekitarnya bukan sekadar tempat mencari kayu atau obat tradisional. Hutan adalah benteng terakhir dari keberlangsungan hidup mereka di tengah perubahan iklim dan cuaca yang makin tak menentu. Mereka meyakini bahwa eksploitasi alam yang serampangan akan membawa bencana.
“Di sini, kami tidak sembarangan masuk hutan. Harus ada ritual dulu untuk minta izin,” tambah Lunggi. Hasilnya? Tanaman mereka jarang terserang hama, bahkan saat hama belalang menyerang wilayah lain.
Dalam mengolah lahan pertanian, peralatan modern seperti tractor, mesin potong dan rontok memang digunakan namun semuanya harus diawali dengan doa dan lantunan syair-syair adat. Warga setempat juga enggan menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Mereka yakin itu bisa berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem dan bahkan perubahan iklim ekstrem.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait