Tidak hanya itu, dalam ritual kacuautang itu juga disepakati bahwa selama lima tahun warga kampung tidak boleh menebang pohon dalam hutan termasuk untuk membangun rumah adat sekalipun.
“Anakan pohon yang di tanam yakni beringin, kapilut, surian dan injuwacu,” ujar Andung Marambanjawa.
“Kalau sudah ritual Kacuautang, baru sampai ada yang melanggar dengan menebang pohon atau merusak hutan kami yakini bahwa akan terkena musibah seperti tersambar petir atau dipatok ular,” Khristian H. Wali menambahkan.
Musibah tersambar petir atau dipatok ular, senada ketiga tokoh adat mengamini, tidak sebatas mitos namun pernah terjadi. Hal mana berdampak hingga kini warga tidak berani untuk kangkangi kesepakatan yang dibangun dalam ritual Kacuautang itu.
Hutan, mata air, lahan pertanian dan padang pengembalaan sambung Lunggi Randa sejatinya kait mengait dalam kehidupan masyarakat Pulau Sumba dan khususnya Sumba Timur sejak dulu. Hal mana untuk mempertahankannya juga harus melibatkan Kabihu atau marga-marga yang terkait.
“Melestarikan hutan, mata air, lahan pertanian dan padang pengembalaan sulit untuk dilakukan kalau sendiri-sendiri tapi perlu kebersamaan. Itu yang terus kami jaga di Kampung Adat Wundut ini,” timpal Lunggi Randa.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait