“Hari ini komitmen dari semua pihak menjadi sangat penting untuk menguatkan bahwa ini adalah komitmen bersama untuk memastikan perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju," tukasnya.
Di tempat yang sama, Asisten 1 Setda Sumba Tengah, Oktovianus Deky mengatakan praktik Kawin Tangkap bukanlah budaya, karena budaya sesungguhnya sangat menghargai perempuan. Busaya sebut dia tidaklah justru melecehkan dan menjadikan perempuan sebagai korban.
Para tokoh adat dan perwakilan elemen warga hadir dalam kegiatan peluncuran Kesepakatan Bersama Tokoh Adat Sumba Tengah untuk Menolak Praktik Budaya Kawin Tangkap di aula Kecamatan Katikutana - Foto Kolase : Istimewa
"Ini mungkin jalan pintas yang diambil dulu ketika laki-lakinya tidak laku, kemudian diskenariokan agar menangkap perempuan," ujar Oktovianus Deky.
Pemerintah, lanjut Oktovianus juga turut mengambil bagian dari upaya penghapusan praktik Kawin Tangkap. Sebab dalam praktiknya, kata dia, ada hak-hak perempuan dan anak yang dilanggar.
"Ini adalah bentuk memperkuat apa yang ada dalam konteks aturan yang dibuat. Karena kalau tidak menghadirkan tokoh adat, ada potensi untuk dilanggar. Kalau semua ini jalan, pastinya Kawin Tangkap itu hanya cerita, yang tidak akan pernah terjadi lagi," imbuh Oktovianus.
Hal senada juga diungkapkan Umbu Sanngaji, salah satu tokoh perumus Dokumen Kesepakatan Bersama Tokoh Adat Sumba Tengah untuk Menolak Praktik Kawin Tangkap. Ia menekankan bahwa Kawin Tangkap sesungguhnya bukan budaya, bukan adat, dan hanyalah kebiasaan.
“Kebiasaan ini dilakukan oleh orang tua, orang kaya, yang punya kuasa untuk menekan. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Kawin Tangkap adalah budaya, itu budaya yang biadab. Orang Sumba adalah orang yang beradab," tandas Umbu Sangaji tegas.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait