Kepala Desa Tebara Bongkar Utang Budaya Capai Rp14,7 Miliar, Generasi Muda Terancam Masa Depannya

TAMBOLAKA, iNewsSumba.id— Ruang Aula Sinar Tambolaka, Rabu (24/9/2025) jelang sore lalu hening sesaat ketika Kepala Desa Tebara, Marthen Ragowino Bira, membuka lembaran data tentang kondisi warganya. Suaranya berat, namun jelas menekankan fakta mengejutkan: hutang budaya masyarakat di Desa Tebara mencapai Rp14,7 miliar per akhir 2024.
“Hutang budaya ini menjadi beban yang sangat serius. Bayangkan, rata-rata setiap RT menanggung beban Rp1,3 miliar. Bahkan, ada keluarga yang harus menjual sawahnya hanya untuk menutup ongkos adat,” ujar Marthen dalam forum Simposium Budaya Sumba itu yang juga dihadiri jurnalis iNews Media.
Ia menguraikan, sebanyak 65 persen sawah di Desa Tebara kini tergadai, bahkan sebagian sudah terjual. Menurutnya, kondisi ini menimbulkan efek domino yang menggerus sendi kehidupan masyarakat desa.
“Bukan hanya sawah yang hilang, tapi juga masa depan generasi muda kita. Data kami menunjukkan 45 persen anak muda di Tebara sudah putus sekolah. Ini tragedi yang harus kita renungkan bersama,” tegas Kepala Desa yang wilayahnya terus dikenal dunia seiring pesona Kampung Adat Praiijing itu.
Fenomena hutang budaya itu tak lepas dari besarnya biaya yang dibutuhkan dalam ritual adat. Marthen membeberkan, untuk satu upacara kematian, keluarga bisa menghabiskan Rp300 juta hingga Rp700 juta. Sedangkan pesta budaya membutuhkan Rp200 juta hingga Rp500 juta.
Tak berhenti di situ, untuk perkawinan adat, angka pengeluaran bisa menembus Rp750 juta. “Angka ini sangat tinggi. Akhirnya masyarakat terjebak pada lingkaran hutang yang terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” katanya.
Ia pun mempertanyakan kembali esensi dari adat itu sendiri. “Berapa sebenarnya aturan adat tentang jumlah hewan yang dikorbankan? Mengapa kini menjadi ajang gengsi yang membebani rakyat kecil?” ungkap Marthen dengan nada lirih.
Menurutnya, adat tidak pernah bermaksud merusak, melainkan mengatur kehidupan. Namun dalam praktik yang terdistorsi, adat justru menjerumuskan warga pada lilitan hutang.
“Kalau kondisi ini dibiarkan, bukan hanya desa kita yang terancam, tetapi juga masa depan Pulau Sumba,” tegasnya memungkasi.
.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu