Panggara Taungu, Hunusan Parang, dan Kayakka: Sumba Beri Teladan Dunia tentang Harmoni

WAINGAPU, iNewsSumba.id – Tidak banyak yang tahu, pembukaan Pekan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) XIV di Waingapu dimulai bukan dengan pidato, tetapi dengan ritual adat bernama Panggara Taungu.
Di gerbang utama Gedung MPL Payeti, dua wunang atau juru bicara adat saling berbalas kata dan kalimat syarat makna. Tuan rumah menanyakan siapa yang datang, sementara tamu menjawab plus menyatakan maksud kedatangan. Dialog itu bukan sekadar formalitas, melainkan simbol keterbukaan dan penghormatan.
Setelah maksud jelas, kedua belah pihak melantangkan pekikan adat: kayakka dan kakalaku. Parang pun dihunus, bukan untuk bertikai, tetapi sebagai tanda persahabatan. Tarian Harama dan Kandingang lalu menyambut para tamu dari berbagai penjuru Nusantara.
“Tradisi ini bukan sekadar penyambutan, tetapi mengajarkan bahwa harmoni bisa dicapai dengan dialog, penghormatan, dan kebersamaan,” ungkap Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, Direktur Eksekutif WALHI NTT.
PNLH XIV menghadirkan 529 organisasi lingkungan. Mereka disambut bukan hanya dengan fasilitas gedung, tetapi juga dengan warisan peradaban yang hidup di Sumba.
Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Zenzi Suhadi, menambahkan, Pulau Sumba memang istimewa. “Sumba menyimpan tujuh sendi peradaban Nusantara. Dari sini kita belajar bagaimana cara memulihkan Indonesia,” tegasnya.
Tujuh sendi yang dimaksud mencakup bahasa, tenun ikat, rumah adat, pangan, pengobatan tradisional, perkakas, hingga bela diri. Semua itu menjadi identitas yang masih dijaga dengan teguh.
Ritual Panggara Taungu dalam pembukaan PNLH XIV seolah memberi pesan: menjaga lingkungan dan budaya harus berjalan seiring. Dari Sumba, dunia belajar bahwa peradaban sejati bukanlah menaklukkan alam, melainkan hidup berdampingan dengannya.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu