Marapu dan Tanah Ulayat: Suara Masyarakat Adat Sumba Timur dalam Lokakarya

WAINGAPU, iNewsSumba.id–Lokakarya yang digelar di Waingapu, Kamis (11/9/2025) di Aula Pada Dita Beach, menjadi panggung di mana suara masyarakat adat menggema bersama narasi kearifan lokal. Topik utamanya jelas: mempercepat pengakuan masyarakat adat dan meneguhkan peran Marapu dalam tata kelola sumber daya alam.
Acara ini diselenggarakan oleh BRWA, WGII, Yayasan Koppesda, dan PD AMAN Sumba Timur, dengan dukungan pemerintah daerah. Agenda ini dirangkai sebagai bagian dari Pra-PNLH XIV WALHI, yang sejak awal menekankan pentingnya konsolidasi multipihak untuk menghadapi krisis ekologi.
Masyarakat adat Sumba Timur selama ini menggantungkan identitas pada Praing dan Kabihu. Namun tanpa legalitas formal, tanah ulayat, hutan, dan perairan adat tetap rentan tergerus kebijakan atau kepentingan lain. Pemetaan partisipatif yang sudah dilakukan di enam wilayah adat masih dianggap langkah awal.
Dalam diskusi, sejumlah tantangan terungkap. Tumpang tindih wilayah adat dengan kawasan hutan negara, minimnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam, serta tekanan perubahan iklim menjadi beban berat.
Di tengah kompleksitas itu, kearifan lokal Marapu dianggap sebagai jangkar. Bagi masyarakat adat, Marapu bukan hanya sistem kepercayaan, melainkan juga tata nilai yang mengikat manusia dengan tanah dan alam semesta.
“Pengakuan masyarakat adat tidak bisa dilepaskan dari kearifan lokal. Marapu adalah roh dari tata kelola lingkungan di Sumba,” ujar Umbu Pajaru Lombu, dari PD AMAN Sumba Timur dan juga akademisi Unikriswina yang hadir dalam diskusi.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu