Lingkungan Hidup dan Surat Izin: Tambang Emas Tradisional Sumba TImur dan TTU di Simpang Jalan

Dion. Umbu, Sefnat P Besie
Aktifitas pendulangan emas di Sungai Noenasi, Kabupaten TTU, NTT dilakukan oleh warga dengan cukup masif dimusim penghujan-Foto: Sefnat Bessie

KEFAMENANU, iNewsSumba.idSungai Noenasi mengalir membawa pasir, batu, dan harapan. Di sepanjang alirannya, warga TTU menambang emas dengan cara yang nyaris tak berubah sejak puluhan tahun lalu: manual, sederhana, dan berbasis alam.

Namun di era regulasi ketat, cara lama itu menghadapi tantangan baru. Tanpa Izin Penambangan Rakyat (IPR), aktivitas mendulang emas berisiko dianggap ilegal.

Para penambang mengaku hanya bekerja saat musim hujan. Banjir menjadi satu-satunya waktu emas bisa diambil dari material sungai.

“Kami tidak pakai alat berat, tidak merusak hutan,” kata Rosalinda Nope Naif.

Meski demikian, ketidakpastian hukum membuat mereka cemas. Beberapa kali penertiban dilakukan aparat, memicu rasa takut dan ketegangan di lapangan.

Tetua adat Yosep Sele Un menegaskan, aktivitas tambang awalnya hanya dilakukan segelintir orang. Kini jumlahnya meningkat, sehingga regulasi menjadi kebutuhan mendesak.

“Kami ingin tertib, tapi negara juga harus hadir,” ujarnya.

Di Sumba Timur, iNews sebelumnya mencatat persoalan serupa. Tambang emas rakyat berkembang, tetapi minim pendampingan dan kepastian hukum, sehingga rawan konflik dan eksploitasi. 

Kepala Desa (Kades) Karipi, Olvianus Ndawa Hamanay, mengonfirmasi adanya aktivitas penambangan oleh warga di wilayahnya, tepatnya di Sungai Liangu Ndingir, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur. Kegiatan ini, menurutnya, telah berlangsung selama sekitar delapan bulan.

“Kami telah turun langsung ke lokasi dua minggu lalu dan menemukan lebih dari 30 warga yang melakukan pendulangan emas menggunakan alat tradisional,” ujar Ndawa Hamanay saat ditemui di Kantor Camat, Jumat (9/5/2025) lalu sehubungan dengan desas-desus yang menyebutkan adanya aktifitas penambangan dan pendulangan emas secara liar dan tradisional di desa itu. 

Ia menjelaskan bahwa warga belajar cara mendulang dari pendatang yang berasal dari Bima dan Timor. Namun, para pendatang tersebut saat ini sudah tidak berada di lokasi.

Menurut pengakuan warga, mereka dapat memperoleh hingga dua gram emas per minggu, yang dijual seharga Rp400 ribu hingga Rp500 ribu/gram. Aktivitas ini dinilai membantu ekonomi warga yang terdampak gagal panen.

Kendati demikian, Ndawa menegaskan bahwa aktivitas atau pendulangan emas tersebut belum memiliki izin resmi dan berpotensi melanggar Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengancam pelaku tambang ilegal dengan hukuman penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.

Kesamaan persoalan ini menunjukkan bahwa tambang rakyat di NTT membutuhkan pendekatan khusus: tidak semata penertiban, tetapi juga pemberdayaan dan legalisasi.

Komunitas NTTExplorer melihat celah itu di TTU. Mereka menawarkan pendampingan berbasis sains dan regulasi agar tambang rakyat berjalan aman dan berkelanjutan.

IPR dipandang sebagai jalan tengah antara perlindungan lingkungan, kepastian hukum, dan kesejahteraan masyarakat.

Di persimpangan antara sungai dan surat izin, masa depan penambang Noenasi kini menunggu keputusan pemerintah.Di Sumba Timur bagaimana?

Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network