Umbu menegaskan bahwa stigma internal dan eksternal menjadi akar persoalan. Di banyak kasus, keluarga menolak menerima anggota keluarga yang terinfeksi, sehingga pasien memilih diam dan menghentikan obat. “ODHA tidak mati karena virus, mereka tumbang karena dijauhi. Ketika keluarga tidak memeluk, kaburlah mereka dari terapi. Inilah yang menyebabkan kehilangan pasien dan kasus baru terus muncul,” jelasnya.
Sebelumnya Wakil Bupati menegaskan bahwa pendekatan medis saja tidak cukup. Perlu gerakan sosial dan perubahan budaya. Ia mendorong para tokoh agama, pemimpin adat, kepala desa, pemuda, dan guru agar ikut menghapus stigma melalui edukasi terbuka, bahasa yang tidak diskriminatif, serta dukungan moral kepada ODHA. “Saya ingin Sumba Timur menjadi tanah yang ramah ODHA. Tidak ada seorang pun boleh diperlakukan lebih rendah hanya karena status kesehatannya,” tegas Yonathan Hani.
Satgas ATM juga menyoroti pentingnya ketersediaan reagen untuk skrining, perluasan layanan konseling dan tes sukarela (VCT), serta memperkuat jejaring layanan antara puskesmas, RS, dan fasilitas kesehatan milik swasta. Pendekatan promotif—bukan sekadar kuratif—ditetapkan sebagai arah kebijakan baru pada 2026 untuk memastikan ODHA mendapat tempat aman untuk bersuara tanpa takut dikucilkan.
Dalam penutup rapat, Wakil Bupati kembali mengajak masyarakat mengubah cara pandang terhadap HIV/AIDS. “Yang kita lawan bukan hanya virus, tetapi ketakutan. Ketika kita memeluk ODHA, kita sebenarnya sedang memerangi penyakit ini dengan cara yang paling mulia,” katanya.
Dengan komitmen baru dari Satgas ATM dan dorongan kuat dari pemerintah daerah, Sumba Timur berharap penanganan HIV/AIDS dapat bergerak lebih cepat dan manusiawi. Pemerintah menargetkan terciptanya lingkungan sosial yang mendukung ODHA, sehingga tidak ada lagi warga yang harus menyembunyikan diri dari layanan kesehatan maupun dari keluarganya sendiri.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait
