Lembaga Keagamaan Jadi Garda Pemulihan, LPSK Ajak Gereja dan Komunitas Terlibat Lebih Jauh
WAINGAPU, iNewsSumba.id-Perlindungan saksi dan korban tidak akan pernah optimal dan tuntas tanpa dukungan lembaga keagamaan dan masyarakat sipil. Demikian disampaikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam kegiatan sosialisasi bertajuk "Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana"
Pernyataan itu mengemuka bersama Komisi XIII DPR RI mengenai urgensi perlindungan saksi dan korban di NTT dalam kegiatan yang dihelat di Aula Puru Kambera, Kambaniru Beach, Kota Waingapu, Sumba Timur, NTT, Sabtu (22/11/2025) siang hingga sore lalu. Kegiatan yang juga menghadirkan tokoh agama Pendeta Abraham Litinau itu juga menegaskan bahwa gereja memiliki peran moral yang tak tergantikan dalam memulihkan korban tindak pidana.
Abraham menilai banyak korban datang dengan trauma mendalam yang tidak bisa disembuhkan hanya melalui proses hukum. Mereka membutuhkan kepastian bahwa komunitas menerima mereka, memberikan ruang aman, dan mendampingi mereka bangkit.
“Rehabilitasi sosial tidak bisa berjalan tanpa sentuhan kemanusiaan,” katanya.
Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati menyambut pernyataan tersebut. Menurutnya, LPSK tidak dapat bekerja sendirian menghadapi kompleksitas kejahatan modern. Di tengah keterbatasan aparat dan luasnya wilayah pelayanan, keberadaan pendamping moral seperti pendeta, pemuka agama, hingga konselor pastoral menjadi sangat penting.
Sri memaparkan bahwa hingga 2025, LPSK telah memberikan perlindungan kepada lebih dari 12 ribu korban di seluruh Indonesia. Di NTT, permohonan perlindungan mengalami peningkatan signifikan. Angka ini menjadi cermin bahwa masyarakat mulai berani bersuara, tetapi juga menunjukkan bahwa kebutuhan pendampingan semakin besar.
Ia menyoroti bahwa UU TPKS memberi ruang partisipasi masyarakat dalam pencegahan kekerasan, termasuk lembaga keagamaan. Pasal 79 hingga 86 mengatur upaya pemantauan, pendampingan, hingga proses pemulihan korban. “Ini bukan hanya urusan negara, tapi panggilan sosial,” ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi XIII DPR RI Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga menegaskan bahwa negara tetap memikul tanggung jawab terbesar. Namun ia mengakui bahwa jejaring sosial dan lembaga keagamaan memiliki kekuatan yang tidak dimiliki aparat: kepercayaan.
Umbu juga mengingatkan pentingnya RUU LPSK yang saat ini sedang dibahas. Ia menilai regulasi tersebut akan memperluas kapasitas perlindungan, termasuk untuk whistleblower dan justice collaborator dalam kasus-kasus besar seperti korupsi, terorisme, dan perdagangan orang.
Tokoh agama, menurut Umbu, akan menjadi elemen yang mengisi ruang batin korban, sementara negara memberi perlindungan fisik dan hukum. Kolaborasi ini, katanya, akan melahirkan sistem perlindungan yang lebih manusiawi.
Sosialisasi di Waingapu itu pun menjadi momentum untuk memperkuat kemitraan antara lembaga negara, pemerintah daerah, dan komunitas keagamaan. LPSK berharap pola ini dapat menjadi model pemulihan korban yang lebih utuh, tidak hanya menyasar keadilan, tetapi juga kemanusiaan.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu