Memahami Purung Ta Liang Marapu, Ziarah Suci Menuju Jantung Spiritual Orang Sumba

Lalu pada 5 dan 6 Oktober, seluruh rumah adat melaksanakan Hamayang dan Podah Ihi, yakni pembersihan diri dan pengakuan dosa. Semua, tanpa terkecuali, termasuk para Ratu dan ibu-ibu, mengakui kesalahan mereka di hadapan Marapu. “Nilai moral dari ritual ini luar biasa. Ia mengajarkan kejujuran, penyesalan, dan pembaharuan diri sebagai manusia,” lanjut Sofrein Umbu.
Puncaknya terjadi pada 8 Oktober, ketika para Ratu berjalan menuju hutan keramat Liang Marapu diiringi bunyi gong yang menggema dari kejauhan. Setiap langkah adalah doa, setiap hembusan napas adalah pengakuan tentang hubungan manusia dan alam. Di sana, batu-batu suci dibersihkan, dimandikan, dan diberi sajian padi, pisang merah, serta santan kelapa simbol penyatuan antara tanah, manusia, dan langit.
“Purung Ta Liang Marapu adalah perjalanan spiritual yang tidak sekadar untuk dilihat, tetapi untuk dirasakan. Ia menunjukkan bahwa masyarakat Sumba Tengah masih teguh menjaga identitas dan keseimbangan kosmosnya,” tutur Sofrein menutup penjelasan.
Kini, di tengah arus modernisasi yang menggerus nilai-nilai leluhur, Purung Ta Liang Marapu menjadi napas terakhir dari kesetiaan manusia Sumba kepada asal-usulnya. Tempat di mana doa tidak diucapkan keras-keras, melainkan dihembuskan lembut bersama bau tanah dan bunyi gong yang berdentang pelan di hutan purba.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu