18 Akademisi Gugat Frasa Kabur di UU Tipikor Karena Berpotensi Kriminalisasi Orang Tak Bersalah

JAKARTA, iNewsSumba.id – Gelombang kritik terhadap pasal “kabur” dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) kembali menguat. Kali ini, 18 akademisi hukum pidana dari berbagai universitas kompak menyerahkan dokumen amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai Pasal 21 UU Tipikor menyimpan bahaya besar: ketidakpastian hukum.
Dokumen tersebut diserahkan pada Kamis (9/10/2025), dalam konteks perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 dan 163/PUU-XXIII/2025, yang turut menyangkut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Fokus kritik mereka tertuju pada frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung.”
“Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’,” ujar perwakilan 18 akademisi, Prof Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura, Minggu (12/10/2025). “Akibatnya, aparat bisa menafsirkan seenaknya bahkan terhadap tindakan yang sah seperti pengajuan praperadilan, nasihat advokat, atau sikap diam.”
Para ahli menegaskan, ketidakjelasan frasa itu bertentangan dengan asas lex certa dan lex stricta dalam hukum pidana. Prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi, kata mereka, terancam oleh tafsir bebas aparat.
Lebih lanjut, mereka menyoroti ketiadaan unsur “melawan hukum” dalam pasal tersebut. Tanpa unsur itu, tindakan legal bisa dianggap menghalangi penyidikan. “Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat. Itu tidak proporsional,” tulis para akademisi dalam dokumen amicus-nya.
Dalam pandangan mereka, pasal itu seharusnya hanya menjerat tindakan yang dilakukan dengan niat jahat, disertai kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan tidak semestinya, sebagaimana tercantum dalam Article 25 Konvensi PBB Antikorupsi.
“Pemberantasan korupsi memang penting,” kata Prof Tongat dari Universitas Muhammadiyah Malang, “tapi ia harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional.”
Menurut mereka, bahasa hukum tidak pernah netral. Ketika rumusan pasal dibiarkan kabur, tafsir aparat akan menjadi absolut. “Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar,” tulis para akademisi menutup pernyataannya.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu