Kacuautang, Ritual Kampung Adat Wundut Menjaga Hutan

SUMBA TIMUR, iNewsSumba.id – Warga Kampung Adat Wundut, Desa Persiapan Pindu Wangga, Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur, NTT menjaga kelestarian hutan dengan ritual yang biasa disebut Kacuautang. Masyarakat adat Wundut membulatkan tekad untuk menjaga kelestarian hutan di sekitar mereka.
Tidak hanya menjaga mata air, lahan pertanian dan peternakannya atau padang pengembalaan juga akan terus mereka jaga bersama. Hal itu ditegaskan oleh Lungggi Randa, Tetua Adat setempat pada iNews di kediamannya, Jumat, 21 Maret 2025.
Lunggi Randa mengatakan, untuk menjaga hutan, warga setempat secara turun temurun menjalan tradisi dan ritual Kacuautang.
“Yang mendasari kami adalah itu merupakan wasiat turun-temurun dari leluhur yang perlu untuk dijaga secara berkelanjutan. Leluhur kami dimasa lalu kompak untuk pertahankan itu, kamipun demikian,” tandas Lunggi Randa, sembari tetap mengunyah sirih pinang dalam posisi duduk bersila di rumah panggungnya.
Ritual pengukuhan hutan atau Kacuautang itu dilakukan sekali dalam lima tahun, kata Lunggi Randa saat didampingi Khristian H. Wali dan Andung Marambanjawa, dua tokoh muda Kampung Adat Wundut.
Lunggi Randa menambahkan, hutan dikukuhkan kembali setiap lima tahun dengan ritual persembahyangan sesuai keyakinan asli Sumba yang dikenal dengan aliran kepercayaan Marapu. Usai ritual itu digelar, warga melakukan aktifitas reboisasi atau penanaman pohon.
Tidak hanya itu, dalam ritual kacuautang itu juga disepakati bahwa selama lima tahun warga kampung tidak boleh menebang pohon dalam hutan termasuk untuk membangun rumah adat sekalipun.
“Anakan pohon yang di tanam yakni beringin, kapilut, surian dan injuwacu,” ujar Andung Marambanjawa.
“Kalau sudah ritual Kacuautang, baru sampai ada yang melanggar dengan menebang pohon atau merusak hutan kami yakini bahwa akan terkena musibah seperti tersambar petir atau dipatok ular,” Khristian H. Wali menambahkan.
Musibah tersambar petir atau dipatok ular, senada ketiga tokoh adat mengamini, tidak sebatas mitos namun pernah terjadi. Hal mana berdampak hingga kini warga tidak berani untuk kangkangi kesepakatan yang dibangun dalam ritual Kacuautang itu.
Hutan, mata air, lahan pertanian dan padang pengembalaan sambung Lunggi Randa sejatinya kait mengait dalam kehidupan masyarakat Pulau Sumba dan khususnya Sumba Timur sejak dulu. Hal mana untuk mempertahankannya juga harus melibatkan Kabihu atau marga-marga yang terkait.
“Melestarikan hutan, mata air, lahan pertanian dan padang pengembalaan sulit untuk dilakukan kalau sendiri-sendiri tapi perlu kebersamaan. Itu yang terus kami jaga di Kampung Adat Wundut ini,” timpal Lunggi Randa.
Hutan dijaga agar keberlangsungan sumber pangan alternatif, juga sumber bahan bangunan rumah adat dan obat-obatan tradisional tetap terjaga. Hutan juga tentunya, tambah Khristian bermanfaat untuk kelestairan mata air yang bersumber dari tempat itu.
Demikian pula halnya lahan pertanian untuk padi dan jagung, dijaga dengan tetap mengutamakan penggunaan cara-cara alami dalam pengelolaan, juga lahan atau padang pengembalaan ternak kuda, sapi dan kerbau.
Menanggapi perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu, masyarakat Kampung Adat Wundut sepenuhnya menyadari hal itu merupakan imbas dari perilaku-perilaku yang tidak menghargai kearifan lokal, eksploitasi terhadap alam yang berlebihan tanpa memperhitungkan kelestarian atau keberlanjutan.
“Hutan-hutan dirusak, buka lahan baru dengan cara dibakar dan juga pembakaran padang adalah perilaku yang tidak pantas untuk ditiru. Kami di sini kalau hutan adat hanya dimasuki untuk mencari ramuan obat tradisional atau kayu utama untuk membangun rumah adat. Itupun baru bisa masuk jika sudah diadakan rangkaian ritual memohon ijin,” kata Lunggi Randa.
“Lahan kami jarang diserang hawa wereng, bahkan hama belalang yang lalu saja lahan sawah dan kebun kami aman,” menambahkan Khristian H. Wali.
Terkait dukungan dari elemen lainnya di luar Kampung Adat Wundut semisal Pemerintah Daerah, Lunggi Randa, Khristian H Wali dan Andung Marambanjawa bersepakat, hal itu akan sangat membantu. Namun ketiganya juga sepakat bahwa hal yang paling urgen adalah kesadaran warga setempat untuk mempertahankan kearifan lokal, adat dan budaya dengan melestarikan langkah—langkah yang leluhur dalam menjaga kelestarian juga keseimbangan alam dan lingkungan.
“Kami dulu pemerintah tidak terlalu memperhatikan. Namun lama-lama ada pengakuan akan keberadaa kami juga perilaku kami terhadap alam dan lingkungan juga dihargai dan diakui. Jika –Pemerintah terus memberikan dukungan tentu akan lebih baik dan memudahkan kami,” timpal Khristian diamini Lunggi Randa dan Andung Marambanjawa.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu