SUMBA TIMUR, iNewsSumba. id - Hasil laut menurun tentu bukanlah harapan warga nelayan. Pasalnya laut merupakan sumber rejeki bagi mereka sangat diharapkan bisa memberikan hasil optimal untuk kesejahteraann keluarga. Menurunnya hasil laut terutama tangkapan ikan, bisa saja karena ulah manusia sendiri yang tidak mengindahkan kelestarian dan keseimbangan alam. Hal mana tentu bisa berdampak murka alam.
Berangkat dari hal itu, perlu kesadaran dari dalam hati dan diwujudkan dalam tindakan nyata, salah satunya perlu kerendahan hati untuk menggelar doa dan ritual tertentu. Hal mana yang juga dilakukan warga nelayan di Kelurahan Kawangu, yang gelar Ritual Marapu (agama asli Sumba) di pesisir pantai Karangga, Kecamatan Pandawai, Kambupaten Sumba Timur, NTT.
Saat matahari mulai menyengat dengan teriknya, Minggu (18/6/2023) siang lalu, puluhan nelayan ramai – ramai menuju pesisir dengan tujuan pertama sebuah pohon bidara. Pohon yang ada di antara himpitan bakau itu menjadi tempat warga menggelar prosesi atau Ritual Puru La Katouda Iyang.
Warga lalu duduk mengitari pohon bidara, dimana di pangkalnya ada mezbah kecil. Belasan ekor ayam nampak ada digenggaman juga pangkuan warga. Tetua adat yang disebut Wunang juga telah duduk bersila di depan batang pohon tepat di depan sebuah mezbah kecil plus sirih dan pinang dalam wadah anyaman daun pandan.
Doa lalu dirapalkan dan selanjutnya mezbah kecil itu dibubuhi rautan emas murni oleh Wunang. Belasan ayam yang disiapkan sesuai dengan ujud doa dan harapan kemdian secara bergiliran diserahkan pada Wunang untuk didoakan lalu di sembelih. Dimulai dengan ayam berwarna dominan merah hitam, lalu disusul ayam warna putih dan ayam lainnya. Selanjutnya di disi lain api telah disiapkan untuk membakar atau memanggang ayam – ayam sembelihan.
Menyembelih dan mengorbankan ayam dan darahnya diteteskan pada tumpukan batu di dekat mezbah dibawah pohon bidara adalah bagian tak terpisahkan dari Ritual Puru La Kotouda Iyang warga nelayan di Kelurahan Kawangu, Sumba Timur - Foto : Dion. Umbu Ana Lodu
Darah ayam wajib diteteskan pada batu di dekat mezbah sesajen, hingga memudarkan warna asli batu yang ditumpuk tidak jauh dari pangkal pohon. Ayam yang telah disembelih lalu dipanggang dan usus serta hatinya dipisahkan.
Chris Milahau, salah satu nelayan yang ambil bagian dalam ritual ini menyatakan doa dan prosesi itu mutlak dilakukan karen hasil laut cenderung menurun.
“Hasil laut tidak bagun akhir – akhir ini. Saya tadi bawa ayam juga untuk doa dan dikorbankan. Kita harus minta bantuan sudah sama Tuhan juga Marapu agar hasil laut kembali baik. Biasanya kalau sudah doa begini, ikan sambula, ikan tembang dan ikan lain jadi banyak dan bermain di dekat perahu kami,” tandas Milahau.
Ritual ini sudah dua tahun terakhir kembali dilaksanakan warga. Dan dipastikan akan jadi rutinitas. Hal itu ditegaskan oleh Tay Pekambani, nelayan dan juga tokoh masyarakat setempat.
“Kita lihat hasil laut akhir – akhir inni menurun. Jadi kita hubungi dan cari Ama Wunang untuk Hamayang (Doa). Kalau tidak yaa bisa tambah turun hasil laut, tapi kalau sudah hamayang begini kita nelayan akan lebih lega dan yakin hasil laut akan kembali bagus,” ungkap Pekambani.
Disaksikan saat itu, ayam yang telah dibakar bulunya lalu dibelah, setelah itu usus dan hati ayam dikumpulkan kemudian dibawa ke tetua adat dan para tokoh untuk didoakan dan dicermati. Hal itu dimaksudkan sebagai media dari leluhur yang bisa beri isyarat atau petunjuk, tentang hasil laut dan perilaku yang harus dihindari oleh para nelayan.
Wunang atau tetua adat bersama para tokoh adat mencermati usus dan hati ayam untuk menafsirkan petunjuk leluhur dalam Ritual Puru La Katouda Iyang di Kawangu, Sumba Timur - Foto : Dion. Umbu Ana Lodu
Selanjutnya hati dan ayam panggang terbesar dan terbaik disajikan bersama nasi dalam mangkok tempurung kelapa untuk didoakan Wunang. Dan diberikan sebagai persembahan pada leluhur dan Penguasa Semesta.
Usai didoakan, daging ayam panggang juga nasi yang ada, dimakan bersama oleh seluruh peserta ritual. Setelah itu barulah nelayan diperkenankan ke pesisir untuk mencermati laut dan membersihkan perahu mereka. Hal itu agar dihari esok atau malam harinya bisa kembali melaut dengan tenang, namun tetap menaati segala petunjuk yang sudah diamanatkan leluhur/Marapu.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu