SUMBA BARAT DAYA, iNewSumba.id - Di setiap kota besar, gedung pencakar langit dapat dengan mudah ditemui. Bangunan jenis ini tentunya memiliki kontruksi beton yang kokoh. Namun pernahkah terbayang bangunan pencakar langit, yang juga cukup kokoh walaupun tidak berkontruksi beton. Yaa, mencakar langit sejatinya tak mesti dengan gedung berkontruksi beton, namun bisa pula dengan bangunan berbahan ilalang. Di Kampung Adat Wainyapu, hal itu menjadi realita.
Perkampungan ini terletak di Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), propinsi NTT atau berjarak lebih dari 40 Kilometer dari Kota Tambolaka (Kota Kabupaten SBD). Perkampungan ini cukup tua.
Menuju kampung ini, pengunjung akan disambut dengan hamparan kuburan batu megalith pada bentangan tanah lapang depan perkampungan. Kala kaki menjejak perkampungan, niscaya mata pengunjung akan dimanjakan bangunan rumah adat dengan menara menjulang tinggi bagai mencakar langit.
Bangunan tradisional di sini tidak sedikitpun menggunakan unsur logam, semacam paku misalnya namun cukup kokoh menantang langit dan melawan kipasan bayu.
Kampung ini dihuni oleh ratusan warga 12 suku, yang tersebar pada 57 unit rumah adat. Atap ilalang dan menjulang tinggi rumah adat di perkampungan ini, sejatinya ditopang oleh 4 tiang utama. Ke - 4 tiang utama berukir itu berdiri kokoh di tengah rumah. Uniknya, di tengah ke - 4 tiang inilah tungku atau dapur berada.
Di sekitar ke-4 tiang itupula benda-benda pusaka dan upacara di simpan. Jika beruntung, pengunjung yang datang bisa memperoleh hiburan ekstra berupa penabuhan gong dan tambur oleh penghuni kampung yang sedang bersukaria.
Kuburan megalith di sisi rumah adat padfa Kampung adat Wainyapu,, Kabupaten Sumba Barat Daya - Foto : Dion. Umbu Ana Lodu
Aksesoris lainnya yang bisa ditemui di dalam rumah adalah tanduk kerbau dan rahang babi yang dipajang di dinding dan di bawah atap ilalang.
Tak hanya menara yang mencakar langit, perkampungan yang konon telah ada sejak abad 15 silam ini, juga di padati oleh ratusan kubur batu yang seakan mengukir bumi pertiwi dan mempertontonkan kejayaan era megalithikum di Pulau Sumba yang masih bertahan hingga kini.
“ Perkampungan ini ada sejak abad ke-15 masehi, kalau tidak salah pada saat Kerajaan Sriwijaya ada di Nusantara. Kalau kuburan megalith di kampung ini lebih dari 500 buah,” jelas Rehy Patty, tokoh adat Wainyapu kala ditemui di Kampung itu beberapa waktu lalu.
Jika kota-kota besar dihiasi dengan gedung pencakar langit, perkampungan Wainyapu juga demikian adanya. Jika di kota kota besar, kepadatan para penghuni perkampungan kumuh menjadi cerita saban hari, di perkampungan ini seakan tak jauh berbeda. Sebuah rumah bisa dihuni lima bahkan lebih kepala keluarga atau rumah tangga.
“Satu rumah kadang bisa 20- sampai 30 orang atau dua sampai lima rumah tangga. Kalau masak nasih bisa sampai empat periuk,” urai polos Martha Chapa,salah seorang ibu rumah tangga di kampung ini dengan bahasa Indonesia seadanya.
Jenuh dengan kepenatan di kota besar dan keangkuhan gedung pencakar langitnya? mungkin pencakar langit dan suasana khas ala Kampung Wainyapu, bisa menyegarkan dan menciptakan kesan yang berbeda dan tak terlupakan.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait