Lelaki Sepuh dan Perempuan Perkasa dari Kampung ini, Bertarung Sikapi Perubahan Iklim Sumba Timur

WAINGAPU, iNewsSumba.id – Perubahan iklim bahkan cenderung ekstrem terus terjadi di beberapa wilayah di dunia, termasuk pula di Indonesia. Kondisi serupa juga dirasakan di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tana Humba – Tana Marapu, demikian predikat yang diberikan leluhur penghuni pulau ini untuk bumi dan langit yang hingga kini masih dipijak anak dan cucu mereka.
Tanah, langit dan laut wilayah yang pernah disebut sebuah majalah travel mancanegara, sebagai Pulau Terindah di Dunia itu hingga kini tak luput dari dampak perubahan iklim. Suhu yang lebih panas dari sebelumnya, hama wereng dan bencana alam seperti kekeringan dan juga banjir tak luput mendera Tana Humba - Tana Marapu. Selain itu juga persoalan sampah menambah besarnya ancaman pada kesederhanaan, keunikan dan keasrian budaya, alam Sumba dan masyarakatnya.
Kendati demikian, selalu ada solusi yang ditawarkan, selalu ada jalan keluar yang diberikan Sang Khalik pada sejumlah figure, walau segelintir untuk menyikapinya. Figur yang terus lantang bersuara, menunjukkan dedikasi dan bukti nyata untuk pelestarian alam dan budaya yang juga berimbas pada kesiapan menyikapi perubahan iklim.
Kampung Adat Wundut, Lunggi Randa dan Kacuautang
Lunggi Randa, lelaki berusia 65 tahun asal Kampung Adat Wundut, Desa Persiapan Pindu Wangga, Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur, boleh jadi satu dari segelintir figur yang peduli pada pelestarian alam, adat dan budaya. Walau tergolong sepuh, suaranya tetap lantang, perilakunya terus terjaga untuk menjalankan amanah leluhur, menjaga alam, lingkungan adat dan budaya.
“Kami sudah dari leluhur memang menunjukkan sikap kompak terutama dalam menjalankan tahap-tahap ritual adat dan budaya kami, termasuk untuk bersikap terhadap alam dan lingkungan,” tandas Lunggi Randa mengawali tuturnya kala dijumpai belum lama ini di kediamannya.
Sembari mengisap rokok kretek dan memakan sirih pinang, Lunggi Randa yang saat itu didampingi Andung Marambanjawa dan Khristian H Wali, dua tokoh muda Kampung Adat Wundut menegaskan komitmennya. Ketiganya solid untuk terus menjaga adat dan tradisi demi kelestarian alam dan lingkungan. Terjaganya adat dan budaya, lestarinya alam dan lingkungan, disadari mereka adalah salah satu cara untuk menyikapi perubahan iklim yang massif terjadi.
“Hutan adat, mata air dan lahan pertanian juga padang pengembalaan terus saya dan warga Kampung Adat di sini jaga dengan sepenuh hati dan bergotong royong,” timpal Lunggi Randa.
Mata air, Lunggi Randa lebih jauh menguraikan akan terjaga jika hutannya terjaga. Hewan atau ternak akan cukup rumputnya dan tidak akan masuk ke hutan dan merusakknya jika padang pengembalaan terjaga. Karena itu, sebut dia warga secara turun temurun terus menjaga dan menjalankan Ritual Kacuautang yakni sebua ritual kesepakatan yang di dalamnya ada ritual-ritual pendukung lainnya.
Lebih jauh dikisahkan mereka, Ritual Kacuautang dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Ritual atau upacara ini adalah bentuk pengukuhan hutan adat. Bagi mereka, hutan bukan sekadar bentang alam, tetapi ruang sakral yang hidup, tempat bersemayamnya nilai-nilai leluhur.
“Setelah ritual, kami lakukan penanaman pohon seperti beringin, kapilut, surian, dan injuwacu,” kata Andung Marambanjawa, salah satu tokoh muda kampung. Namun yang paling penting, kata dia, adalah kesepakatan kolektif: selama lima tahun ke depan, tak seorang pun boleh menebang pohon di kawasan hutan adat, bahkan untuk membangun rumah adat sekalipun.
Larangan itu bukan sekadar aturan. Bagi warga Wundut, pelanggaran terhadap kesepakatan ini bisa berakibat fatal. “Orang yang melanggar bisa tertimpa musibah—tersambar petir atau dipatok ular. Itu bukan mitos. Sudah pernah terjadi,” tambah Khristian H. Wali.
Di balik ritual ini, tersembunyi filosofi kearifan lokal yang mendalam. Lunggi Randa kembali menekankan adanya keterkaitan antara semua elemen pendukung kehidupan warga dan kelestarian alam juga lingkungan.
“Semuanya saling terkait. Tidak bisa dijaga sendiri-sendiri. Harus dengan kebersamaan, antar kabihu (marga),” ujarnya.
Hutan Adat disekitarnya bukan sekadar tempat mencari kayu atau obat tradisional. Hutan adalah benteng terakhir dari keberlangsungan hidup mereka di tengah perubahan iklim dan cuaca yang makin tak menentu. Mereka meyakini bahwa eksploitasi alam yang serampangan akan membawa bencana.
“Di sini, kami tidak sembarangan masuk hutan. Harus ada ritual dulu untuk minta izin,” tambah Lunggi. Hasilnya? Tanaman mereka jarang terserang hama, bahkan saat hama belalang menyerang wilayah lain.
Dalam mengolah lahan pertanian, peralatan modern seperti tractor, mesin potong dan rontok memang digunakan namun semuanya harus diawali dengan doa dan lantunan syair-syair adat. Warga setempat juga enggan menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. Mereka yakin itu bisa berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem dan bahkan perubahan iklim ekstrem.
Meski pemerintah kini mulai melirik upaya mereka, bagi warga Wundut, hal terpenting tetap kesadaran dari dalam komunitas sendiri. “Kalau pemerintah mau mendukung, tentu kami senang. Tapi yang utama adalah kami menjaga warisan leluhur ini,” ujar Khristian, diamini Lunggi dan Andung.
Jika Ritual Kacuautang sudah dijalankan namun ternyata masih ada permasalahan seperti hujan tak kunjung turun ataupun curahnya minim, Lunggi Randa menyatakan pihaknya dengan dukungan warga akan menggelar Ritual Mangapangu atau Namatwai Urangu di mata air Tap Laimada dan Kaokauki.
“Jika ritual ini kami jalankan, bahkan sejak dulu nenek moyang kami tidak pernah ada kata tidak berhasil atau tidak hujan. Pernah ada orang dari luar yang datang, tidak percaya akan turun hujan, eee setelah kami sembayang, tidak lama berselang bunyi guntur dan petir, lalu kemudian hujan. Pulangnya yang ragu itu terpeleset karena licin dan beceknya jalan oleh hujan,” urai Lunggi Randa dengan senyuman tipis dari bibirnya yang merah kehitaman oleh sirih pinah yang dikunyahnya.
Ritual Kacuautang dan lainnya tentunya membutuhkan materi tidak sedikit seperti ternak ayam atau babi dan bahan pangan lainnya. Namun semangat gotong royong yang tak hanya sebatas frasa manis, mereka jalankan hingga persoalan dan beban itu bisa lebih terasa ringan.
Bersambung…
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu