Antara Demokrasi dan Keamanan: Dilema Prabowo Subianto di Tahun Awal Pemerintahan

JAKARTA, iNewsSumba.id – Presiden Prabowo Subianto menghadapi dilema klasik di awal masa pemerintahannya: menjaga stabilitas keamanan sekaligus memastikan demokrasi berjalan. Situasi ini muncul setelah rentetan aksi massa besar-besaran pada Agustus 2025 lalu.
Pakar geopolitik dan keamanan, Wibawanto Nugroho, menyebut pernyataan Prabowo terkait 17+8 Tuntutan Rakyat mencerminkan tarik-menarik dua kepentingan itu. Di satu sisi, rakyat menuntut perubahan. Di sisi lain, negara harus menjaga ketertiban agar tidak jatuh ke jurang chaos.
"Pak Prabowo dengan tegas mengatakan sebagian tuntutan masuk akal, sebagian lain perlu diperdebatkan. Dari sana terlihat bagaimana beliau menjaga keseimbangan antara aspirasi rakyat dengan kebutuhan keamanan," ujar Wibawanto di program Interupsi iNews, Kamis (11/9/2025).
Menurutnya, Prabowo menyadari demokrasi tidak bisa dipisahkan dari keamanan. "Kalau demokrasi dikebiri, publik akan melawan. Sebaliknya, keamanan tidak bisa tegak tanpa demokrasi," ujarnya.
Gelombang unjuk rasa besar lalu dianggap sebagai sinyal peringatan bahwa public trust mulai menurun. Kondisi inilah yang membuat Prabowo segera mencari jalan pemulihan dengan membuka ruang dialog.
Dalam kasus polemik TNI dengan Ferry Irwandi, misalnya, Prabowo meminta agar penyelesaian ditempuh lewat diskusi terbuka, bukan represif. Sikap itu, kata Wibawanto, menandakan pilihan strategis: meminimalkan gesekan, memaksimalkan komunikasi.
Fenomena transisi kekuasaan turut memperkuat dinamika ini. Dari pemerintahan sebelumnya, sejumlah masalah belum tuntas, lalu diwarisi oleh Prabowo. Publik menaruh harapan besar agar perubahan segera terlihat.
Sejumlah kalangan menilai, kemampuan Prabowo menjaga keseimbangan demokrasi dan keamanan akan menentukan arah pemerintahannya. Jika berhasil, Indonesia bisa memasuki fase stabil pasca gejolak politik. Namun bila gagal, potensi krisis kepercayaan bisa kembali membesar.
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu