Tanah Marapu Punya Mistik Tersendiri!!!
Beberapa hari terakhir media sosial kembali geger. Bukan karena prestasi, tapi karena video “ekspedisi perjalanan” yang diunggah oleh Youtuber Jajago Keliling Indonesia.
Mereka menampilkan anak-anak di Pantai Mandorak dan Kampung Adat Ratenggaro, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), yang meminta uang kepada wisatawan. Seperti biasa, viral dan menuai banyak komentar sinis dari warganet.
Saya orang asli Sumba. Saya tahu itu memang terjadi. Anak-anak masih sering minta uang di lokasi wisata. Apakah ini sesuatu yang kami banggakan? Tentu tidak. Tapi apakah pantas dijadikan tontonan dengan narasi "liar" yang menyudutkan tanpa pemahaman kontekstual? Juga tidak.
Yang bikin saya geleng-geleng adalah, wajah anak-anak itu ditampilkan dengan jelas. Tanpa blur, tanpa sensor. Tidak ada rasa tanggung jawab bahwa yang mereka rekam adalah anak-anak.
Di mana etikanya? Di mana sensitivitas sosialnya? Atau mungkin bagi Jajago Keliling Indonesia, etika kalah penting dari view dan like?
Saya paham mereka ingin memperlihatkan kenyataan. Tapi kenyataan itu tidak bisa dipotong sesuka hati dan dijual sebagai tontonan dramatis.
Apa yang dilakukan anak-anak atau adik-adik kami adalah hasil dari pola lama. Wisatawan datang, memberi uang, lalu pergi. Pola ini dibiarkan. Tidak ada pembinaan, tidak ada sistem. Negara juga absen dalam pengelolaan wisata kami.
Lucunya, Jajago ini datang tanpa pemandu. Keliling seenaknya, lalu menyimpulkan sendiri, padahal mereka cuma pelancong bermodal kamera dan kepercayaan diri berlebih. Konten jalan-jalan, tapi dibungkus seolah-olah sedang membedah masalah sosial.
Sayangnya, yang dibedah adalah luka orang lain, dan yang dipamerkan adalah aib masyarakat yang belum sempat bicara dan belum begitu familiar dengan tatakelola wisata itu sendiri.
Jajago juga seolah tak sadar bahwa yang mereka lakukan justru memperkuat stigma negatif. Sekali unggah, wajah Sumba tercoreng. Bukannya berkontribusi pada solusi, mereka malah memperkeruh citra.
Kalau mereka memang peduli, kenapa tidak hubungi tokoh adat? Kenapa tidak bicara dengan warga sekitar? Kenapa tidak mencoba menggandeng stakeholder untuk membuat perubahan? Oh ya, lupa. Itu tidak akan menghasilkan view sebanyak video anak minta receh.
Sumba memang belum modern. Tapi kami bukan objek tontonan. Kami bukan reality show berjalan. Kami sedang belajar, membangun, dan mencoba memperbaiki tempat wisata. Kami tidak butuh tamu yang datang hanya untuk mempermalukan.
Saya tantang Jajago, jika kalian memang punya niat baik datang kembali ke Sumba. Duduk bersama kami. Lihat dari dekat, dan bantu kami cari solusi. Tapi kalau cuma ingin membuat konten murahan lagi, sebaiknya lewat saja.
Diakhir tulisan saya ini, untuk Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Pariwisata SBD, BANGUNLAH. Cukup sudah rakyat kami jadi “korban konten”.
Sudah saatnya ada sistem, edukasi, dan pembinaan agar hal seperti ini tak lagi terjadi. Jangan tunggu sampai Sumba dikenal bukan karena keindahan alam, tapi karena video memalukan di berbagai media sosial.
Saya menulis ini karena saya cinta Sumba. Dan saya muak melihat daerah kami terus-menerus disalahpahami dan dimiskinkan secara narasi oleh orang luar yang hanya numpang viral.
Akhir kata, Sumba bukan objek dokumenter murahan. Sumba adalah tanah adat, tanah bermartabat. Jangan biarkan narasi Sumba dibentuk oleh lensa orang asing yang tidak tahu apa-apa tentang luka dan harapan kami yang sebenarnya.
Salam cinta dari saya!
Yulius A. Papa (Penulis dan Jurnalis Asli Sumba)
Editor : Dionisius Umbu Ana Lodu
Artikel Terkait